Jumat, 17 September 2010

long life learning

PENDAHULUAN

Dunia pendidikan Indonesia tidak henti dirundung persoalan. Persoalan yang paling besar adalah banyaknya output pendidikan Indonesia yang “tidak laku” di dunia kerja. Berikut ini adalah cuplikan berita dari vivanews. com tentang keadaan dunia kerja Indonesia yang berjudul “pengangguran banyak, 70 % lowongan tak terisi” yang tentunya menohok dunia pendidikan kita:
Selama hampir lima tahun, hasil penelitian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat kekosongan lowongan kerja dalam negeri sebesar 70 persen. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengatakan, dari hasil evaluasi pasar tenaga kerja dalam negeri lewat bursa kerja setiap tiga bulan hanya mampu mengisi 30 persen kebutuhan.
Berita ini pasti mengejutkan. Sementara di pihak penerima kerja kesulitan mendapat tenaga kerja, di sisi lain pengangguran begitu banyak. Data dari LIPI menyebutkan bahwa angka pengangguran di Indonesia mencapai 8, 89 Juta jiwa. Data tersebut menjelaskan bahwa angka pengangguran di Indonesia yang begitu tinggi tidak disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan, tetapi lebih disebabkan karena SDM Indonesia sebagai produk pendidikan Indonesia tidak menjawab kebutuhan pasar. Dunia kerja yang bergerak begitu cepat dengan tuntutan profesionalitas yang semakin bertambah tidak dapat dipenuhi oleh SDM dengan keilmuan yang mandek. Ilmu yang dimiliki SDM dipandang terlalu kuno dan tidak up to date untuk memenuhi dunia kerja.
Dalam bidang keagamaan Kristen terdapat banyak gereja-gereja yang tidak memiliki gembala sidang bukan karena tidak adanya pendeta, tetapi gereja-gereja tersebut tidak menemukan pendeta yang sesuai dengan harapan gereja tersebut di tengan dunia yang berubah. Penulis sebagai anggota Gereja Baptis Indonesia mengamati bahwa ada 5 gereja besar di Jakarta yang sudah bertahun-tahun mencari dan tidak menemukan gembala sidang yang tepat bagi mereka. Data ini belum ditambah dengan dengan gereja-gereja Baptis lain di luar Jakarta yang mengalami kesulitan yang sama.
Sebuah kalimat bijaksana menggambarkan perubahan dunia yang begitu cepat , “Dahulu perubahan berjalan dalam hitungan tahun, sekarang perubahan berjalan dalam hitungan menit.” Perubahan, dan perkembangan pengetahuan berjalan sangat cepat. SDM dituntut menjadi orang yang “up to date” terhadap berbagai disiplin ilmu. Padahal pendidikan formal tidak bisa diikuti sepanjang hari. Pendidikan formal akan berhenti pada saat seseorang diwisuda. Bagaimana pengetahuan dapat di”up date” oleh SDM ketika tidak lagi mengenyam pendidikan formal?
Pada intinya pendidikan formal tidak akan mampu mencukupi kebutuhan keilmuan SDM untuk dapat selalu memenuhi kebutuhan pasar dalam kondisi dunia yang berubah begitu cepat. Yang bisa dilakukan pendidikan formal adalah membuat strategi belajar yang akan memupuk mental “life long learning” kepada siswa.

BAB I
MASALAH

Belajar adalah proses yang terus menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya, manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam proses mencapai tujuan itu, manusia akan diperhadapkan pada berbagai rintangan. Manakala rintangan itu sudah dilaluinya, maka manusia akan dihadapkan pada tujuan dan masalah baru; untuk mencapai tujuan baru itu manusia akan dihadapkan pada rintangan baru pula, yang kadang-kadang rintangan itu semakin berat. Demikianlah siklus kehidupan dari mulai lahir sampai kematiannya manusia akan senantiasa dihadapkan pada tujuan dan rintangan yang terus menerus. Dikatakan manusia yang sukses dan berhasil manakala ia dapat menembus rintangan itu; dan dikatakan manusia gagal manakala ia tidak dapat melewati rintangan yang dihadapinya. Atas dasar itulah sekolah harus berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar. Melalui kemampuan bagaimana cara belajar, siswa akan dapat memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya.
Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah dikemukakan di atas sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti dirumuskan UNESCO (1996), yaitu: (1) learning to know; (2) Learning to do; (3) Learning to be; dan (4) Learning to live together.
Masalah dasar tidak terciptanya mentalitas “long Life Learning” pada anak didik terletak pada konsep mengajar itu sendiri. Konsep mengajar yang selama ini dianut diartikan sebagai proses menyampaikan informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu dari guru kepada siswa. Konsep mengajar yang selama ini ada mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Proses pengajaran berorietasi kepada guru (teacher centered)
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru memegang peran yang sangat penting. Guru menentukan segalanya. Mau diapakan siswa? Apa yang harus dikuasai siswa? Bagaimana cara melihat keberhasilan belajar? Semuanya tergantung guru. Oleh karena begitu pentingnya peran guru, maka biasanya proses pengajaran hanya akan berlangsung manakala ada guru; dan tak mungkin ada proses pembelajaran tanpa guru. Dalam melaksanakan perannya sebagai penyampai informasi, sering guru menggunakan metode ceramah sebagai metode utama. Metode ini dianggap ampuh dalam proses pengajaran. Karena pentingnya metode ini, maka biasanya guru sudah merasa mengajar apabila sudah melakukan ceramah, dan tidak mengajar jika tidak melakukan ceramah. Sedangkan sebagai evaluator, guru juga berperan dalam menentukan alat evaluasi keberhasilan pengajaran. Biasanya kriteria keberhasilan proses pengajaran diukur dari sejauh mana siswa dapat menguasai materi yang disampaikan guru.

2. Siswa sebagai objek belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai materi pelajaran. Mereka dianggap sebagai organisme yang pasif yang belum memahami apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran mereka dituntut memahami segala sesuatu yang diberikan guru. Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang dipelajari kadang-kadang tidak berpijak dari kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat siswa, akan tetapi berangkat dari pandangan apa yang menurut guru dipandang bermanfaat.
Sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar sesuai dengan gayanya, sangat terbatas. Sebab, dalam proses pembelajaran segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.

3. Kegiatan pengajaran terjadi pada waktu dan tempat tertentu
Proses pengajaran berlangsung pada tempat tertentu, misalnya terjadi di dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat, sehingga siswa hanya belajar manakala ada kelas yang didesain sedemikian rupa sebagai tempat belajar. Adanya tempat yang telah ditentukan, sering proses pengajaran terjadi sangat formal. Siswa duduk di bangku berjejer, dan guru di depan kelas. Demikian juga halnya dengan waktu yang diatur sangat ketat. Misalnya, manakala waktu belajar suatu materi pelajaran tertentu telah habis, maka segera siswa akan belajar materi lain sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Cara mempelajarinya pun seperti bagian-bagian yang terpisah, seakan-akan tak ada keterkaitan antara materi pelajaran satu dengan yang lainnya.

4. Tujuan utama pengajaran adalah penguasaan materi pengajaran
Keberhasilan suatu proses pengajaran diukur dari sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari mata pelajaran yang diberikan sekolah. Sedangkan, mata pelajaran itu sendiri adalah pengalaman-pengalaman manusia masa lalu yang disusun secara sistematis dan logis kemudian diuraikan dalam buku-buku pelajaran dan selanjutnya isi buku itu yang harus dikuasai siswa. Kadang-kadang siswa tak perlu memahami apa gunanya mempelajari bahan tersebut. Oleh karena kriteria keberhasilan ditentukan oleh penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan biasanya adalah tes hasil belajar tertulis yang dilaksanakan secara periodik.
Konsep pendidikan yang seperti inilah yang selama ini kita anut dan konsep mengajar seperti inilah yang kemudian mencetak mentalitas belajar berhenti hanya di meja guru. Ketika pengetahuan terus mengalami perkembangan, produk pendidikan tidak bisa berkembang lagi ketika pendidikan usai. Pendidikan yang berorientasi pada guru, kelas dan penguasaan bahan ajar membuat murid tidak dapat belajar lagi ketika tidak ada lagi guru, kelas, dan bahan ajar yang disediakan.
Agar out put pendidikan dapat menjawab kebutuhan masyarakat maka strategi pembelajaran itu sendiri harus diubah. Strategi pembelajaran perlu diubah menuju pembentukan mental “long life learning” sehingga siswa memiliki kemampuan untuk terus mengakses pengetahuan baik dalam pendidikan formal maupun ketika tidak lagi berada dalam pendidikan formal.

BAB II
SOLUSI

Mentalitas “long life learning” siswa dapat dibentuk bila konsep mengajarnya pun diubah. Konsep mengajar yang selama ini adalah mentransfer ilmu dari guru kepada murid harus diubah menjadi mengajar adalah proses mengatur lingkungan. Terdapat beberapa karakteristik dari konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan:
1. Mengajar berpusat pada siswa (Student Centered)
Mengajar tidak ditentukan oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri. Dengan demikian, peran guru berubah dari peran sebagai sumber belajar menjadi peran sebagai fasilitator, artinya guru lebih banyak sebagai orang yang membantu siswa untuk belajar. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa.
2. Siswa sebagai subjek belajar
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, siswa dianggap sebagai organism yang pasif yang hanya sebagai penerima informasi, akan tetapi dipandang sebagai organism yang aktif, yang memiliki potensi untuk berkembang. Mereka adalah individu yang memiliki kemampuan dan potensi.
3. Proses pembelajaran berlangsung dimana saja
Sesuai dengan karakteristik pembelajaran yang berorientasi kepada siswa, maka proses pembelajaran bisa terjadi di mana saja. Kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar siswa. Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai kebutuhan dan sifat materi pelajaran. Ketika siswa akan belajar tentang fungsi pasar misalnya, maka pasar itu sendiri merupakan tempat belajar siswa.
4. Pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan
Tujuan pembelajaran bukanlah penguasaan materi pelajaran, akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itulah penguasaan materi pelajaran bukanlah akhir dari proses pengajaran, akan tetapi hanya sebagai tujuan antara untuk pembentukan tingkah laku yang lebih luas. Artinya, sejauh mana materi pembelajaran yang dikuasai siswa dapat membentuk pola perilaku siswa itu sendiri. Untuk itulah metode dan strategi yang digunakan guru tidak hanya sekadar metode ceramah, tetapi menggunakan berbagai metode, seperti diskusi, penugasan, kunjungan ke objek-objek tertentu dan lain sebagainya.
Pandangan mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan itu, tidak sesuai dengan dengan keadaan masa kini. Minimal ada 3 alasan penting mengapa sangat diperlukan adanya perubahan paradigm mengajar: (1) Siswa bukan orang dewasa dalam bentuk mini, tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang Dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan berkembang secara optimal; (2) Ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan; (3) Penemuan-penemuan baru khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap perubahan tingkah laku manusia. Dewasa ini, anggapan manusia sebagai organism pasif yang perilakunya dapat ditentukan oleh lingkungan seperti dijelaskan dalam aliran behavioristik, telah banyak ditinggalkan orang. Orang sekarang lebih percaya, bahwa manusia adalah organism yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran kognitif holistik.
Ketiga hal diatas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran, atau memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi lebih dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain mengajar yang demikian seringkali diistilahkan dengan pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan.
Dengan dijadikannya siswa sebagai pusat dari kegiatan tentunya berdampak terciptanya mentalitas mencari sendiri pengetahuan mereka. Sehingga suatu saat bila setelah menyudahi pendidikan formal mental “mencari sendiri” pengetahuan akan memungkinkan mereka terus meng “up date” pengetahuan yang terus berkembang.

KESIMPULAN

Ketidaksesuai antara output pendidikan dengan pasar pendidikan adalah terletak pada mentalitas “long life learning”. Dengan mentalitas ini murid diharapkan mampu terus menyerap dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak begitu cepat. Dengan demikian lulusan dapat memenuhi kebutuhan pasar yang membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kecapakan “up to date”.
Masalah mengapa lembaga pendidikan tidak menghasilkan lulusan yang memiliki mentalitas “long life learning” adalah terletak pada konsep mengajarnya. Konsep mengajar yang selama ini dianut adalah: (1) Proses pengajaran berorientasi kepada guru (teacher centered); (2) Siswa sebagai objek belajar; (3) Kegiatan pengajaran terjadi pada waktu dan tempat tertentu; (4) Tujuan utama pengajaran adalah penguasaan materi pengajaran.
Konsep mengajar yang seperti ini perlu diubah dengan konsep yang baru. Konsep yang baru tersebut adalah: (1) Mengajar berpusat pada siswa (Student Centered); (2) Siswa sebagai subjek belajar; (3) Proses pembelajaran berlangsung dimana saja; (4) Pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan. Dengan konsep yang mengajar yang baru ini murid akan dapat mengembangkan dirinya terus menerus, bahkan pada saat tidak mengikuti lagi pendidikan formal. Inilah yang dinamakan dengan mentalitas “long life learning”, diharapkan dengan mentalitas ini kesenjangan antara output pendidikan dan dunia kerja dapat diatasi.

DAFTAR PUSTAKA

Freire, Paulo. Pendidikan Sebagai Proses (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Gulo, W. Strategi belajar mengajar (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002).
Harefa, Andrias. Menjadi Manusia Pembelajar. (Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 2000).
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Predana Media, 2006).
Suprapto Hadi, dkk. Pengangguran banyak, 70% lowongan tak terisi. bisnis.vivanews.com/news/read, 2010.

LIPI Perkirakan angka pengangguran turun. www.antaranews.com, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar